Archive

Uncategorized

Sedemikian hingga letupan itu meredup,
Berkatarsis dalam sabuk pendar yang militan,
Ia segera merapat, dijauhkan dari energi yang tak terjamah
Lalu mereka bersekongkol,
Menyelewengkan orbitnya pada gravitasi energi yang lain.
Sunyi, tanpa bahasa.

Duhai Bintang, usah salahkan dia yang kini tengah larut dalam kedalaman dunia egonya,
melainkan salahkan dirimu yang memancar berlebihan,
dan membiarkan hatimu tertambat kecupan pada Sang Rembulan.

– Penguasa Dimensi Cahaya –

Image

Handphone kami berdering bersamaan.

Malam itu hujan. Semarak rinainya menyamarkan bebunyian apapun di ruangan yang kami tinggali. Setelah menemukan sumber suara handphone masing-masing, kami spontan memisahkan diri. Aku keluar mencari sinyal, sedang dia menuju ke ruangan lain yang cenderung tak terjamah gemuruh hujan.

Oh, aku bahagia sekali malam ini. Besok fee untuk project wallpainting di café boss-nya Ninda cair. Di dalam kepala ini, mesin otakku segera berputar dan mulai menyusun segenap rencana tentang pendayagunaan calon uang yang akan masuk ke rekeningku. Yang jelas harus beli kelengkapan perjalanan jauh, peralatan melukis, stationary, dan beberapa buku baru. Sisanya ditabung. Oh, dan satu lagi, aku pengen sedikit syukuran mentratkir dia di café boss-nya Ninda. Sekalian pamer hasil karya tentunya.

Kami bertemu lagi di ruang workshop sepuluh menit kemudian.

“Senyam-senyum aja, kayaknya baru dapet rejeki gede nih….” Ia menebak.

“Yep, dan sekalian pengen bagi-bagi rejeki” sahutku.

“Cieeh, gitu donk!” Cīnī melompat girang, “Makan dimana? Kapan?”

“Abis kita beresin maket kamu aja, sekalian relaxing. Besok sore aku traktir di café Maia!”

Cīnī tak menyahut. Ia berpikir alih-alih.

“Telpon dari siapa tadi?” tanyaku, menepis ekspresinya yang datar.

“Kayaknya kalo besok nggak bisa deh, Rul. Barusan cowok aku udah ngajakin makan duluan…”

Hatiku menclos.

Kulihat alisnya mengerut terangkat, mencoba mengisyaratkan permintaan maaf yang tersirat.

Nafasku menjadi sedikit berat.

“Oke, nggak papa kok, Cīn” tukasku singkat.

Andai ia tahu, begitu beratnya pemakluman yang kulontarkan itu. Begitu sulitnya kuberikan sedikit toleransi atas semua ini. Tapi tetap kucoba menyunggingkan senyuman untuk menghilangkan kekecewaannya. Atau sebenarnya, kekecewaanku?

“Yaay! Minggu depan ya, Rul? Okey?” Ia kembali melompat girang.

Aku hanya tersenyum sebagai jawabnya.

“Pokoknya aku tetep mau lihat hasil goresan tangan kamu yang le-gen-da-ris di café Maia” katanya sambil menunjukkan gesture khasnya yang kekanakan.

“Udah gampang, yang penting tugas maket kamu harus beres dulu!” kusentuh lembut kepalanya sambil menghilangkan sedikit kekecewaanku lewat persinggungan chemistry-nya.

Ia tersenyum manis, “Yeeey, Rula memang baiiik!”

Lalu kami kembali bekerja, menggunting kertas, memotong styrofoam, dan mengoles lem perekat yang susah hilang walau dicuci berkali-kali. Dan suasana di studioku malam itu kembali menghangat.

Aku dan Cīnī sudah cukup lama akrab. Ia adik kelasku di kampus. Pertemuan kami pun tidak sengaja, tapi terlalu menarik untuk dianggap biasa.

Sore itu, aku dapat SMS dari Pak Jazim, mantan kaprodi-ku sewaktu masih kuliah dulu di jurusan arsitek. Isi SMSnya kira-kira tentang tawaran mengisi seminar kecil-kecilan di kelas beliau. Semacam sharing dari kakak kelas yang sudah lulus. Acaranya berlangsung hari Rabu, siang hari selepas dzuhur. Adik-adik kelasku tampak begitu antusias dengan materi sharing yang kuberikan. Padahal kalau dipikir-pikir, aku ini pengkhianat jurusan. Ilmu yang kukaji selama 4,5 tahun hampir tak kupakai sama sekali. Semenjak kakiku melangkah ke dunia professional, aku lebih sibuk berkarier di bidang composing music digital dan wall décor. Yang terakhir sedikit berkaitan sih, tapi itu sudah termasuk pembenaran. Dalam acara sharing dua jam itu, banyak sekali yang antusias bertanya atau sekedar menyatakan kekaguman pada hasil karyaku. Mungkin karena hal itu pula, seusai sharing berlangsung, Pak Jazim langsung menawariku menjadi asisten beliau. Merasa tawarannya akan kutolak, ia segera pasang kuda-kuda,

“Demi almamater lho, Rul”.

Yah, meski tak bisa kuanggap cukup relevan juga, tapi kucoba memberikan jawaban sopan dan sedikit memuaskan,

“Saya pikir-pikir dulu ya, Pak. Sambil lihat jadwal kerjaan saya”.

Pak Jazim adalah dosen yang paling kuhormati. Selain karena cara beliau mengajar yang sangat inspiratif, karya-karyanya juga keren. Rasa hormatku kepada beliau hadir dengan begitu alaminya, hingga saat ini pun masih mengakar. Kami berpisah usai acara sharing.

Ketika kakiku  menuruni tangga kampus itulah aku bertubrukan dengan Cīnī. Ia yang sedang terburu-buru, menubrukku keras sambil menggendong maket besar hingga nyaris terjengkang ke bawah. Untung aku refleks menyahut tubuhnya sehingga ia selamat dalam cengkeramanku, tapi tidak maketnya.

“Maaf mbak, saya nggak sengaja” aku buru-buru meminta maaf.

“Enggak, mas. Saya yang salah. Saya lagi buru-buru” sahutnya sambil membenahi maketnya yang sangat bernasib malang sore itu.

Aku menarik nafas panjang, “Sepertinya rusak parah. Apa yang bisa saya lakukan?”

Ia menggeleng, “Ini murni kesalahan saya kok. Mas nggak perlu tanggung jawab”

Mataku menyisir raut mukanya yang nampak amat kecewa.

“Tapi karena saya juga mbaknya jadi jatuh. Saya merasa bersalah juga, mbak. Dan, saya bisa bantu benahin maketnya kok” Sambil sedikit memaksa dan meyakinkan, aku menatap matanya lekat-lekat.

“Nggak perlu, mas. Sungguh”, ia balas memaksa.

“Cīnī, ngapain lo disitu?”

Tiba-tiba muncul suara dari anak tangga teratas. Teman-temannya datang berduyun-duyun ke bawah. Rupanya mereka anak-anak yang tadi datang di kuliah sharing-ku.

“Eh, masih ada kak Rula?” tanya salah seorang mahasiswi.

“Saya nggak sengaja nubruk mbak ini tadi. Maketnya jadi rusak”, jawabku.

“Enggak kok, saya yang kurang hati-hati” sahut gadis itu.

“Wah, itu mah lo harus bikin lagi, Cīn” celetuk salah seorang mahasiswa.

“Cīnī, lo kok nggak dateng di sharing Kak Rula sih?” seorang mahasiswi tiba-tiba bertanya, “ini lho orangnya!”

Cīnī menatapku bengong.

“Hai” sapaku.

“Wah, ini Kak Rula ya? Maaf kak, aku telat dateng soalnya tadi beresin bikin maket ini buat sekalian dikumpulin! Maaf kak, maaf!” ia menyunggingkan ekspresi memohon dengan gayanya yang lugu.

“Udah telat lo ngumpulinnya. Bakal minus 20 nilainya. Pak Jazim kejam loh!” tukas salah seorang gadis berjilbab di belakang Cīnī.

Aku mencoba mengendalikan situasi.

“Gini aja. Saya terima permintaan maaf kamu asalkan kamu ijinkan saya buat benerin maket ini. Nanti saya bilang ke Pak Jazim kalau kamu telat ngumpulin gara-gara nggak sengaja maketnya jatuh ketubruk saya. Oke?”

Ia hanya melongo menjawab permintaanku. Kulihat yang lain juga menunjukkan ekspresi serupa.

Dan sore itu, untuk pertama kali ia main ke studioku yang jaraknya tak jauh dari kampus. Dan kurang dari semalam, kami berdua menjadi akrab ketika bekerja menyelesaikan maket yang akan dikumpulkannya esok. Lima jam bekerja telah mengantarkan kami ke dalam obrolan-obrolan ringan tapi seru yang semakin mendekatkan kami.

Kedekatan ini semakin lekat ketika akhirnya kuterima tawaran menjadi asisten dosen Pak Jazim di kampusku.

“Nah, begitu donk. Itu baru namanya cinta almamater, hehe” Pak Jazim menepuk pundakku senang.

Sebetulnya bukan itu alasan saya pak, aku membatin. Aku punya alasan lain yang lebih kuat untuk berada disini. Satu nama unik kini tertambat di hatiku: Cīnī.

Setiap hari rabu, semangatku menguar setiapkali bertemu dia di dalam kelas yang kubina. Aliran endo-morphin dalam seludang otakku menjalar ke seluruh tubuh, mengemulsi elemen api yang membakar segenap energiku untuk menggelora tanpa batas. Dan semua itu hanya berakar pada satu inspirasi, Cīnī. Dia telah mengubah hidupku. Dua tahun hampa dalam badai karir yang serba hijau semu dan tak tentu arah, kini perlahan nampak nyata dan terarah. Cīnī telah mejagaku dari kelelapan yang berkepanjangan di masa silam. Dia inspirasiku.

Tapi, ketika rotasi energiku mulai perlahan stabil, badai asing itu hadir. Kejadiannya berlangsung saat kami makan bersama di kantin belakang kampus.

“Hufff….”, suaranya yang manis melenguh ketika ia ambruk perlahan di atas meja.

“Kenapa? Bete lagi?” tanyaku bijak.

“Nggak kak, cuma capek aja tadi seharian gotong-gotong properti di sekre…”, jawabnya lunglai.

Aku berdehem.

“Cīnī, gimana kalau kita buat perjanjian?”

“Eh? Perjanjian apaan?”

“Gimana kalau mulai sekarang, kamu panggil aku Rula aja. Nggak usah pakai ‘kak’ lagi deh”

“Waduh, nggak bisa kak!”

“Toh kita Cuma beda dua tahun. Iya kan?”

“Tigaaa! Korupsi nih!”

“Ya itulah maksudku…”

Ia berpikir, masih pada posisi bersandarnya.

“Biar akrab aja, Cīn…” aku menambahkan lagi.

Aku suka panggilan itu. Nama yang unik itu memberikan peluang bagiku untuk menggandakan makna panggilan sayang yang kuucapkan kepadanya. Lalu ia menyahut,

“Emangnya kita belum akrab ya, kak?”

“…Rula…”, aku mengoreksi.

“Oke, emangnya kita belum akrab ya Rul?”

“Nah! Sekarang kita resmi akrab!” aku berseru girang.

Cīnī menunjukkan ekspresi herannya dengan lucu. Dengan refleks, tanganku mencubit manja pipinya. Ia pun tersenyum.

“Okey Rulaaa! Tanggung sendiri kalau ntar nyesel loh ya?”

“Nggak akan nyesel, Cīnī…” aku balas tersenyum.

Dan makanan pesanan kami datang.

“Oh iya, tadi siapa yang bantu-bantu kamu gotong properti? Lena atau Yeni?”

Ia menggeleng sambil mengunyah suapan pertamanya.

“Bukan. Bukan dua-duanya”

“Siapa?” tanyaku acuh sambil menyeruput kuah panas soto ayamku.

“Cowokku”

uhuk!

Aku tersedak. Sakit sekali rasanya sewaktu kuah penuh mono-sodium glutamat itu masuk ke pipa penciumanku.

“Eh, kak, kenapa?” Cīnī panik menepuk wajahku.

“Rula! Don’t break the rule!” aku mengoreksinya sambil terus tersedak.

“Duh, ini minum dulu!” ia menyodorkan segelas air yang langsung kusahut tanpa basa-basi.

Aku meliriknya dengan tenang, dan Cīnī balas mengamati wajahku dengan tatapan gelisah.

“Kamu punya cowok…?” suaraku yang sengau kupaksakan keluar.

“Iya. Anak teknik kimia. Lho, emang kakak belom tahu?” tanyanya polos.

“Rula….”, aku mengoreksi lagi, “kamu dah janji panggil saya Rula aja….”

Ia melengus.

Dalam diam dan datar, aku lanjut menghabiskan soto ayamku buru-buru. Dan entah karena rasa sakit yang menjalar di lubang hidungku, atau anomali rasa sakit yang menyayat di hatiku, aku mendadak ingin segera meninggalkan arena itu. Meninggalkan  Cīnī sendirian di sana yang mengamatiku dengan penuh keheranan.

“Saya yang bayarin, Cīn. Maaf saya mendadak inget ada perlu.”

Aku tahu alasanku terdengar kekanak-kanakan.

Saya?” Cīnī mengernyit.

Aku terdiam mengamatinya. Aku pun tahu maksudnya.

“Sampai ketemu minggu depan ya….” Kupaksakan senyumanku saat mata kami beradu sebelum aku pergi.

Dan minggu berikutnya, aku beralasan sakit dan tak bisa hadir mendampingi Pak Jazim di kelas. Aku sendiri dibuat kebingungan oleh perasaanku. Apa-apaan ini?! Batinku memberontak. Kenapa aku jadi kekanak-kanakan begini?!

Aku cemburu.

Aku sadar aku sedikit kehilangan.

Gadis polos yang selama ini menjadi penyemangatku ternyata sudah milik yang lain. Menyakitkan sekali karena ternyata aku baru tahu kenyataannya kemarin sore. Dan yang jauh lebih menyakitkan lagi, hatiku sudah terlanjur tertambat di hatinya.

Malam itu aku kembali dirundung kesepian. Perasaan yang sama sepinya seperti sehari sebelum bertemu dengannya. Bahkan lebih buruk lagi. Serangkaian pesan singkat darinya yang masuk ke handphone-ku kuacuhkan.

Paginya aku mulai tersadar atas sikapku yang kekanakan. Aku jadi merasa bersalah kepadanya. Memangnya apa salahnya? Bukankah itu hak dia untuk punya pacar? Bukankah memang itulah sifat aslinya yang selalu baik ke semua orang? Aku saja yang ge-er!

Aku tak henti-hentinya memaki diriku sendiri.

Senin pagi aku ke kampus, menghampirinya yang sedang berjalan bersama mahasiswa yang lain.

“Boleh kita ngobrol sebentar?” tawarku sambil tersenyum tawar.

Cīnī mengernyit bingung. Sementara itu, teman-teman yang mendampinginya membubarkan diri perlahan dengan sopan.

“Aku mau minta maaf, Cīn…”

Cīnī balas menatapku lekat. Dan kuakui pada saat itu, aku kalah oleh kedewasaannya.

Kemudian, seolah tahu apa yang kupikirkan, ia bertanya balik,

“Kamu baru tahu kalau aku punya pacar?”

Aku sedikit tercekat tertahan. Kemudian aku mengangguk.

“Aku hanya sedikit kaget aja kemaren. Maaf aku dah bersikap kekanak-kanakan. Jujur, nggak ada maksud apa-apa kok” aku memaksakan senyuman di akhir kalimat.

“Oke”

“Ya?”

“Aku bilang oke, Rula…” ia menjawab dengan ekspresi datar.

“Oh, oke” aku tersenyum lagi.

Dan ia pun membalas senyumanku. “So, temenan lagi kan?”

Aku mengangguk semangat. Tapi jujur saja, dalam sepersekian detik, ketika kata ‘teman’ menggetarkan membran sel selaput keong di lubang telingaku, aku sedikit tertusuk. Aku bahkan tak yakin apakah perasaan menusuk itu ada atau tidak. Semu. Aku sudah terlanjur tersenyum.

Siang itu menandai babak baru kisahku dengan Cīnī.

Ia yang seorang gadis lugu dan setia ternyata menyimpan kedewasaan di hatinya. Setahun sejak hari itu, aku masih berteman dengannya, hingga saat ini.

Empat bulan sudah aku mengundurkan diri dari jabatan asisten dosen Pak Jazim di kampus. Urusan pekerjaan rupanya cukup membebaniku untuk membagi jadwal dengan baik. Bulan ini hujan turun dengan derasnya. Dingin yang menjalar terkadang mengemulsi kemalasanku untuk bekerja. Tapi pesan singkat yang masuk mendadak di handphone-ku seperti petir kecil yang mengejutkan mitokondria ungu di dalam sel-ku untuk mensekresikan energinya. Pesan singkat dari Cīnī yang menyatakan butuh bantuanku dalam menyelesaikan maket untuk tugas akhirnya. Di tengah hujan di malam itulah kami kembali mengakrabkan diri setelah lama tak bertemu. Kehangatan tutur katanya menyulut proses biokimia di dalam tubuhku dan melemparkanku pada keakrabanku dengannya di masa-masa awal bertemu. Semuanya belum berubah. Sikapku, sikapnya, rasaku, dan rasanya. Aku masih bisa menerima semua hal tentangnya. Satu-satunya hal yang tak bisa kuterima adalah ‘ia masih milik yang lain’.

“Udah hampir jam 5, Cīn. Gilee…” aku berujar lemah sambil bersandar di kursi malasku.

Ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. “Duh, ya ampun. Maaf Rulaa, kamu udah capek banget ya?”

“Eh, bukan itu maksudku. Maksudnya, kita harus buru-buru beresin biar kamu nanti ada waktu  buat tidur sebelum ngumpulin maketnya” aku meluruskan.

“Ooh, ngga papa kok, santai aja. Kamu udah capek ya?”

Aku tak menjawab. Kupandangi langit-langit studioku yang kelabu.

“Cīn, café Maia itu kerjaan terakhirku di Indo”

Cīnī memandangiku heran, “maksud kamu?”

Aku membetulkan posisi dudukku, lalu memandanginya lekat yang sedang berdiri di sana.

“Minggu depan aku ke Paris. Lanjut kuliah disana. Aku dapet beasiswa dari Pak Jazim.”

Cīnī mematung.

“Kok baru ngasih tahu sekarang, Rul?”

Aku tak menjawab.

“Boleh nggak aku minta satu permintaan?” aku balas bertanya menepis pertanyaannya.

Ia angkat bahu, lalu mengangguk.

“Agak sedikit egois sih permintaannya…”

Ia angkat bahu lagi, “apapun deh Rul….”

“Boleh nggak kalau besok kamu batalin ketemuan sama cowok kamu dan sebagai gantinya kamu aku ajak makan di café Maia?”

Hening memayungi kami. Hujan semalam di luar kini mulai reda, seperti tangis anak dewa yang terkuras oleh lelah dan oleh kesedihan yang tak berkesudahan. Butir hitam matanya melirik maket yang kami karyakan bersama. Hening memperadukan hati kami sekarang.

Ia berujar, “Oke”.

Hanya itu, batinku.

Kutahan senyumanku sebelum ia menyunggingkannya terlebih dahulu.

Dan tibalah saatnya, ia tersenyum.

“Apapun akan kukabulkan buat Kakak Rula yang baik hatinya!”

Dan kehangatan kembali berdenyar.

Selewat jam dua, aku menjemput Cīnī dari kosannya, membawanya ke café Maia yang lokasinya cukup jauh di daerah atas. Setibanya disana, ia langsung histeris mengamati ilustrasi wall décor buatanku sambil tak henti-hentinya memuji. Sang pelayan yang sudah kelewat akrab denganku semenjak project yang kukerjakan di tempat ini menawarkan kami tempat duduk terbaik tepat di bawah ilustrasi buatanku. Setelah dua cangkir cokelat hangat disuguhkan di depan kami, Cīnī bertanya,

“Apa judul ilustrasi ini, Rul?”

“Algoritma Ketidakberaturan” jawabku.

Alisnya naik ketika ia menyeruput cokelat panas di cangkir bentuk hatinya.

“Apa itu maksudnya?”

Aku terdiam sesaat, pura-pura berpikir. Aku tak mau ia menebak bahwa aku sudah menyiapkan jawaban yang memang sudah kusiapkan kalau ia menanyakan pertanyaan barusan. Aku mencoba menjelaskan dengan cara lain.

“Aku mau tanya. Handphone kamu pakai nomer cantik apa nggak?”

Ia menggeleng.

“Kenapa nggak beli nomer cantik aja, Cīn?”

Ia angkat bahu, lalu balas bertanya, “Kamu sendiri, nomernya cantik apa bukan?”

Giliran aku menggeleng.

Lalu ia balas bertanya, “Kenapa kamu nggak beli nomer cantik aja?”

“Hmm”, aku berpikir. Tapi ia buru-buru menyahut,

“Jangan bilang kalau nomer kamu dibeliin sama orang atau nggak ada nomer cantik waktu kamu beli?”

Aku menggeleng sambil tersenyum.

“Bukan itu, Cīnī…”

“Lalu? Kenapa?”

“…karena aku melihat keindahan dari sesuatu yang tidak beraturan”, jawabku.

Ia menelengkan kepala sebagai reaksinya.

Aku membetulkan posisi dudukku lalu lanjut berkata,

“Banyak orang yang berpikir dengan cara mainstream. Dan pola pikir itu mengantarkannya dalam cara melihat keindahan dalam sesuatu. Hal ini bisa dipaparkan dalam konteks hukum chaos dan order. Bagi sebagian besar mereka, keindahan itu ditempuh dengan cara-cara yang lazim menurut hukum Order, seperti membeli nomer cantik misalnya. Nomer cantik dianggap sebagai suatu bentuk keteraturan yang lazim, dan dari situlah nilai keindahan muncul. Sebaliknya, mereka belum tentu akan bisa melihatnya dalam bentuk ketidakberaturan…”

Cīnī masih sedikit kebingungan.

“..dan, hubungannya sama gambar kamu?”

Aku melanjutkan, “Coba kamu lihat, gambar ini adalah gambar dua sejoli yang berhadapan tapi tidak bisa saling mendekat.” Aku menunjuk ke gambar yang kubuat di dinding.

Tapi ia tak mengikuti gerak tubuhku. Cīnī masih bergeming menatapku.

“…secara hukum Chaos dan Order, mereka seharusnya bisa dengan mudah saling bersentuhan. Tapi itu tidak terjadi. Arus sirkuit chaos mengacaukan peredaran mereka, sehingga sekalipun pada posisi yang secara Order terbilang lazim atau sangat mungkin untuk bersentuhan, tapi keduanya tidak terjadi di ranah hukum chaos. Mereka tetap tidak bisa bersentuhan. Tapi satu hal yang pasti terjadi dalam hukum ketidakberaturan itu adalah; mereka tetap terikat dalam keindahan.”

Aku menyudahi penjelasanku sambil terus menatap gambar yang menempel di dinding di samping kami. Aku tak berani menatap matanya. Mata Cīnī yang lembut tapi dalam. Bahkan tanpa perlu menatapnya, aku dapat merasakan pancaran kedalaman energi yang menghujani ragaku. Aku mengela nafas panjang.

“Aku ngerti kok maksudnya, Rul”, katanya lirih.

Baru kemudian aku berani menatapnya.

Ia cantik sekali. Sederhana, tapi cantik.

Senyuman yang melengkung tipis di wajahnya kembali menggetarkanku.

“Mungkin itu yang bisa kugambarkan tentang kita, Cīn….”

Cīnī mengangguk kecil.

“Aku juga sependapat”, katanya pelan.

Aku menunggu.

“Kamu mencoba menggambarkan satu bentuk ketidaklaziman kejadian bahwa seharusnya dengan kedekatan seperti ini mereka bisa dengan mudah bersatu…”

“Tapi itu tidak terjadi”, sahutku.

Ia tersenyum lagi.

Tiba-tiba tangannya menunjuk ke satu bagian di dalam gambar. Seutas garis yang memisahkan mereka.

“Kalau ini apa?” tanyanya.

Ini dia, batinku. Akhirnya ia menanyakan hal itu.

Aku menjawab, “itu adalah sebuah garis tanda tanya yang harus terjawab…”

Ia berpaling menatapku.

“Apa yang harus dijawab?”

Aku menjawab, “Mengapa mereka tak bisa bersatu”

Hening kembali turun menggelayuti kami. Suasana café yang semula memang sudah cukup sunyi kini seperti senyap. Seakan-akan semua bebunyian tertelan ke dalam sukma kami.

Cīnī mengangkat bahunya, dan menerka, “…mungkin karena memang tak harus dijawab. Mungkin itulah cara hukum chaos bekerja…?”

Aku menyahut, “Seandainya keduanya bertemu disaat keduanya masih sama-sama tak memiliki dan dimiliki, apa menurutmu hukum choas itu tetap akan terjadi?”

Cīnī bergeming.

Aku meneruskan.

“Apakah seandainya dulu ketika kau belum jadi milik siapapun dan lalu larut dalam keakraban denganku, mungkinkah kita bersatu tanpa harus ada garis pemisah itu?”

Mata Cīnī kini mencoba menerobos pertahananku dengan lembut. Lembut sekali.

Mulutnya terbuka, “Menurutku tetap tidak mungkin, kak…”

Jantungku terpompa begitu keras dalam satu degupan maut ketika julukan itu kembali tersandang kepadaku.

Bibirku bergetar dan bertanya, “….Kenapa?”

Cīnī tak langsung menjawab. Ia kembali menyergapku lembut dengan tatapannya.

Bibir tipisnya terbuka.

“Karena aku hanya bisa menerimamu sebagai orang yang kukagumi, bukan sebagai kekasih…”

Dan kulihat hujan di luar jendela turun.

Bersamaan dengan itu, panas membara di hatiku pun meredup.

Dan bersama itu pula, visual khayal utasan garis pemisah di dalam gambar yang kubuat memudar.

Inilah jawaban misteri yang ingin kudengar.

Jawaban yang seharusnya kutahu semenjak awal kami bertemu.

Jawaban yang seharusnya kudengar sebelum asmara yang kupercaya tumbuh dihatiku dan terus menerus menyiksaku.

Jawaban yang sanggup menahan emosiku, yang sanggup melipatgandakan logikaku.

Tapi ini semua sudah terlanjur terjadi.

Seminggu lagi aku akan meninggalkan semuanya bersama kenangan di arena ini.

Cīnī kuantarkan pulang dalam diam. Dan ketika mata kami beradu untuk terakhir kalinya, aku berucap lirih,

“Terimakasih”.

Dan ia memberikan senyuman termanis yang takkan kulupa sampai kapanpun.

—-

Jika cinta begitu mainstream, maka semuanya akan terjadi sesuai keinginan kita. Tetapi ia bekerja berdasarkan hukum ketidakberaturan, dimana justru itulah yang menjadikannya terasa indah.

New-Canvas_

“Abigail, kenalin, ini Rodi…”

Suara Anto memecah lamunanku.

“Eh, halo”, gelagapan, aku meraih tangan lelaki di depanku.

“Rodi”. Suaranya ngebass basah ketika tangan kami bertaut. Genggamannya cukup kuat saat menyalami tanganku yang kecil.

Aku melanjutkan bersuara, “nama kamu aneh juga, kayak alias system kerja paksa-nya Daendels aja…”

Ia tersenyum, “selamat, anda orang ke seribu yang ngomong begitu”.

“Oh ya? Dapet hadiah apa nih?”

“Asbak bentuk kawah Kilimanjaro. Tertarik?”

“Nggak ah. Tuker sama baskom bentuk Danau Kaspia aja deh kalau ada”

“Danau Kaspia? Kaspia kan nama laut?” Ia mengernyit.

“Nah lo, nah lo, salah baca ensiklopedi ya mas?”

Ia  balas tersenyum, “Wah, saya nanya ke dukun yang salah berarti…”

Aku melirik Anto yang sejak tadi kepalanya membidik wajah kami tiapkali kami ngomong bersahutan. Mulutnya yang sejak tadi juga melongo kayak ikan lele local berdehem,

ehem, kayaknya kalian udah cocok banget nih. Yaudah, nggak pake lama, kalian langsung ke ruang lighting aja. Disana udah ditungguin sama Mbak Tamara yang ngurus desainnya. Make sure gak ada kabel konslet dan lain-lain”.

Serta merta mulut Anto mingkem, aku dan Rodi segera bergegas setengah berlari menuju  lokasi yang ditunjuk. Langkah kami berkejaran diiringi dentuman sound system yang menyuarakan suara vokal band SMA yang tidak konsisten dengan musik pengiringnya.

Aku bertanya, “Kita pernah ketemu sebelumnya nggak ya?”

Rodi angkat bahu, “Mungkin”.

“Nggak, cuman saya ngerasa wajah kamu familiar aja.”

“Hmm”, Rodi mempercepat langkahnya, “mungkin ada saudara kamu yang mirip sama saya?”

Giliran aku yang angkat bahu. “Mungkin, meski saya yakin nggak ada yang mirip kamu”.

Dia tersenyum lagi, dan berkata tanpa menoleh, “Mungkin kita pernah ketemu di kehidupan sebelumnya”.

Aku meliriknya sambil terus berjalan dan bersikap biasa saja. Tapi hormon di dalam tubuhku bergemuruh menderu, seperti ada sensasi tak wajar akan sebuah kerinduan yang lama terpendam bahwasannya ‘ada juga manusia yang begitu klop dengan energiku’. Ah, entahlah. Kutepis semua bualan anganku itu. Aku tak mau lagi-lagi ditipu oleh khayalan dan pola pikir yang selama ini kuimani. Toh ujung-ujungnya cuma jadi sengsara.

Langkah Rodi melambat ketika handytalkie-nya berkeresek memanggil namanya.

“Yow brow?” suaranya dikeraskan mengantisipasi kebisingan sekitar.

Aku tak bisa menangkap jelas suara di seberang sana, tapi kemudian langkahnya berhenti.

“Abigail, saya harus balik ke ruang panitia, ambil flasdisc-nya Mbak Tamara. Kamu terus ke ruang lighting aja!”

Sosok Rodi menjauh tiba-tiba meninggalkanku.

Pada saat itulah sensasi yang tak wajar menjalari emulsi visual yang tertampak di mataku. Bias, tapi menyulut energi.

“Tunggu!” teriakku, “Saya ikut!”

Tanpa basa-basi, aku berlari mengiringinya. Rodi tetap melaju.

“Barusan saya merasakan sensasi itu lagi!” ucapanku sedikit kulantangkan mencoba mengalahkan resonansi bunyi gaduh di jalur kami berlari.

“Apa? Sensasi apa?!” Rodi juga setengah berteriak.

“Barusan saya merasa seperti…”

Déjà vu?” sahut Rodi cepat.

Aku terperangah. “Iya kali ya….?”

“Iya. Saya juga merasakannya barusan,” sahut Rodi tanpa menoleh.

Aku jadi ikut bingung, “Hah? Maksudnya?”

Tiba-tiba laju larinya berhenti. Tubuh Rodi menghalangi jalurku sekarang.

“Barusan kamu merasa Déjà vu sewaktu saya berjalan pergi kan? Saya juga merasakan yang sama. Saya merasa ada sensasi momentum yang pernah saya alami sewaktu tadi ninggalin kamu di sana…”

Ia menyudahi kalimatnya sambil sedikit terengah.

Aku hanya diam. Rasanya ingin sekali bicara tapi juga bingung mau ngomong apa.

“Rasanya saya tahu pernah lihat kamu dimana…”

Aku berujar pelan. Rodi menelengkan kepalanya, memandangiku kosong. Sedikit menebak, mulutnya terbuka menyuarakan satu kata tepat ketika alunan gaduh dentuman musik berakhir.

“Mimpi?”

Aku tercekat, lalu mengangguk ragu-ragu.

“Iya”

Masih pada posisinya, Rodi mematung.

“Saya lihat kamu muncul di mimpi saya berkali-kali”, ujarku pelan.

Aku tidak bohong. Dan dia pun tahu kalau aku tidak bohong.

Seandainya saja di situasi itu ada Citra atau Rafa atau teman-teman baikku yang lain, mereka pasti sudah duluan melengus melihat kebiasaan anehku yang suka percaya dengan khayalan semacam ini. Tapi Rodi tidak. Dan kalaupun dia salah satu dari teman baikku pun aku yakin dia akan tetap percaya.

Lalu ia tersenyum.

“Berarti sebelum bertemu di alam mimpi, kita pernah ketemu sebelumnya. Hanya saja mungkin kita tidak terlalu….”

“terlalu sadar kalau kita bertemu?” aku mencoba melanjutkan.

Kali ini ia diam sedikit berpikir, tanda bahwa ia kurang begitu sepakat.

Ketika mulutnya hampir bicara, handytalkie nya berkeresek lagi. Kali ini aku bisa mendegar seruan dari seberang sana. Kami segera bergegas  kembali.

Setelah flash disc sudah ditangan, langkah kami kembali berpacu menuju ke ruang lighting. Dan diskusi sambil berlari kembali berlanjut.

“Kamu pasti menganggap saya aneh ya?” tanyaku ragu.

Rodi menggeleng. “Enggak kok. Aneh kenapa?”

Aku angkat bahu, “Yah, aneh karena membahas hal-hal aneh dan gak jelas mungkin?”

“Maksud kamu semacam Déjà vu?” sahutnya.

Aku angkat bahu lagi.

Sambil tersengal, Rodi berujar “Saya percaya kok sama ucapan kamu tadi.”

“Bahwa saya pernah ketemu kamu di alam mimpi berkali-kali?” terkaku.

“Ya”, tukasnya, “juga tentang sensasi Déjà vu yang kita rasakan bareng-bareng barusan.”

Aku tersenyum, tak tahu harus bicara apa.

“Semua ini mengartikan apa ya?”  Rodi bertanya tanpa menoleh.

Dan ketika aku hendak menjawab, tiba-tiba muncul seseorang dari ruang lighting yang kami dekati.

“Kalian bawa flashdisc-nya?” Mbak Tamara menyambut kami dengan mimik sedikit panik.

Rodi menyodorkannya dan disahut sambil tersenyum dan berlalu meninggalkan kami berdua lagi.

“Makasih ya!” seru Mbak Tamara sambil berlalu.

Tinggal kami berdua lagi sekarang.

“Jadi apa artinya?”  tanyaku.

Alis Rodi terangkat sambil tersenyum. Ia berujar,

“Entahlah. Tapi masih pentingkah kita tahu?”

Aku balas tersenyum, “Penasaran aja sih…kan harus ada alasan kenapa ada orang yang mirip kamu di dalam mimpi saya.”

Ia menghela nafas panjang.

“Mimpi itu lahir karena ada percikan energi listrik di saat berlangsungnya proses neuro-synapsis di dalam otak kita. Dan bahan bakar mimpi adalah ingatan. Jadi, pastinya untuk menghasilkan mimpi ketemu orang ‘mirip’ saya, berarti kamu setidaknya harus ‘pernah’ ketemu saya duluan.” Rodi memberikan tanda quote dengan dua jari tangan saat mengucapkan kata ‘mirip’ dan ‘pernah’.

Sambil berpikir, aku berkata,

“Setiap ingatan itu akan di simpan di area otak depan di gudang hipokampus. Kalau memang kita pernah bertemu, setidaknya saya bisa mengambil file ingatan kamu di gudang penyimpanan untuk mengingat kamu tanpa harus repot-repot mimpi duluan.”

Rodi angkat bahu, lalu menyilangkan tangannya ke depan dada, “Jadi?”

“Jadi mungkin mimpi ketemu kamu itu….”

Dia mematung menunggu lanjutan kalimatku.

“Tunggu!”, aku baru sadar, “kok tadi kamu bisa nebak kalau saya pernah ketemu kamu di dalam mimpi??”

Ia masih mematung.

Kami pun beradu pandang dalam hening. Yang ada hanyalah suara keramaian yang nun jauh dibalik sana, di lapangan luas tempat berlangsungnya malam kompetisi band se-ibukota.

“Jangan bilang kalau kamu cuma nebak…” aku menerka dengan sedikit mengancam.

Rodi yang semula mematung, perlahan menggeleng.

“Karena saya juga mimpi bertemu kamu berkali-kali sebelum ini.”

Tepat ketika kalimat itu berakhir, suara piano lembut membahana dari lokasi panggung band, dan bersamaan pula dengan angin semilir serta permainan tata cahaya Mbak Tamara yang berpadu harmonis.

Aku tak berkata apa-apa.

“Kalau kamu mungkin bisa dengan mudahnya bicara jujur sejak tadi, saya hanya bisa tersenyum sambil mendengarkan kamu bicara. Saya hanya merasa…” kalimat Rodi seperti mendayu diiringi alunan piano yang tak kunjung ada sahutan vokalnya, “…saya merasa aneh kenapa kita bisa memiliki perasaan yang sama.”

Hening tercipta.

Mata kami beradu.

Aku merasakan betapa pancaran energiku terpantul pada bening pupilnya. Sebuah sensasi segera teremulsi dalam radius kami berdiri, dan letupan aura ini meyakinkan bahwa setiap apa yang terucap, terdengar, dan terasa adalah penuh kejujuran, tak dibuat-buat. Aku yakin ia tak bohong. Dan aku pun yakin bahwa kami saling percaya. Percaya pada semua ini. Percaya pada kejadian ini.

“Saya ingat…” ucapku.

Rodi menunggu.

“Saya mimpi bertemu kamu di saat ini…”

Hening berlanjut.

“Saya mimpi bertemu kamu berkali-kali di kejadian ini…” pungkasku.

Rodi menyunggingkan senyuman. Pada saat itu aku yakin kalau dia begitu tampan dengan lengkungan senyuman itu

“Saya juga”, ucapnya pelan.

“Kita sama-sama memimpikan momentum ini, Abigail….”

Di seberang sana, suara lembut seorang vokalis remaja putri menyusup diantara nada, melantunkan syair yang bias antara syahdu dan romantis…

Mimpi berganti, merajai angan, menumpas keraguan.

Segala kemustahilan pupus ditelan malam.

Aku dan kamu menjadi nyata.

Bukan lagi khayalan.

 Hanya kenyataan.

Mimpi bekerja dengan cara yang misterius. Tak ada lagi hukum ruang-waktu yang berlaku di daerah kekuasaannya. Dan malam itu, aku dan dia menjadi pembuktinya.

Kami menghabiskan sisa malam dengan bekerja membantu petugas tata lampu di belakang panggung yang temaram. Sesekali aku memergokinya sedang mencuri pandang ke arahku. Pun begitu sebaliknya. Sesekali kami saling melempar senyum tanpa ragu tanpa satu orang pun menyadarinya. Dan di penghujung acara, Rodi menghampiriku yang sedang duduk bersila di atas box hitam.

Aku menyambutnya.

“Mau makan dimana?” tanyanya.

“Lho, kan udah disediain dinner box buat panitia…” jawabku.

Ia menggeleng, “saya nggak suka.”

“Nasi goreng belakang kampus ada yang enak. Buka 24 jam lagi”, sahutku.

Ia tersenyum, “satu jam berapa?”

“Yee, emangnya warnet?” aku membalas kelakarnya.

Ah, gila! Batinku. Semua yang ada di kepalanya sudah bisa kutebak. Dan dia pun sepertinya tahu apapun yang kupikirkan.

Tapi kami sama-sama tak tahu apa yang kami rasakan.

Kami tak tahu apa yang sedang membuat jantung kami berdegup sama kencangnya.

Dia tak tahu, aku pun tak tahu.

Tapi, masih perlukah kudengar jawabannya?

—-

Sampai jumpa di persimpangan sabuk elektrik neuro-synapsis-ku 🙂

Di situasi perkomikan Indonesia sekarang ini, banyak komikus yang menuntut hak-nya terlalu kepagian dan berlebihan.Banyak diantara teman-teman yang sebagian besar belum terlalu paham dengan situasi bisnis perkomikan Indonesia menuntut income/pendapatan yang besar jika nanti menjadi seorang komikus. Tak jarang pula yang memimpikan popularitas instan jika masuk ke lini bisnis mengasyikkan ini. Tentu impian-impian semacam itu hukumnya halal dan sah-sah saja. Akan tetapi, semua tuntutan itu sebetulnya masih berupa mimpi yang kita sendirilah yang bisa membantu mewujudkannya.

 

Mengutip dari pelajaran PPKn jaman SD dulu, jangan kita menuntut hak berlebihan tapi mengabaikan kewajiban kita. Jika kita menilik lebih dalam, kita sendiri pun sadar bahwa situasi komik Indonesia belum stabil dan matang seperti negara-negara maju lain. Kondisi ini jangan sampai menjadi alasan atas susahnya industri komik kita untuk naik, sebaliknya justru harus memacu energi dan otak kreatif kita untuk membuat satu terobosan tatanan marketing baru demi mencapai kesuksesan bersama. Mendapat income besar, popularitas, dan kenyamanan berkarya tentu itu menjadi hak kita sebagai seorang pekerja kreatif komikus. Tapi ingat, kita juga punya kewajiban yang harus didahulukan, yaitu menciptakan karya komik yang KEREN dan membentuk sistem pasar yang beda namun durable dan sustainable. Yang kemudian terjadi sekarang justru sebaliknya. Banyak teman-teman komikus yang mengeluhkan income minim dari berkarya komik dan menuntut kemudahan berbisnis di dunia komik, akan tetapi kewajibannya untuk mengkaryakan satu judul komik yang DAHSYAT belum terpenuhi. Jika dikembalikan ke pelajaran PPKn, tipikal orang seperti ini adalah orang tercela, hehe.

 

Yang harus diperhitungkan dari bisnis ngomik di Indonesia saat ini bukan semata-mata membuat karya komik yang rupawan, tapi harus mempersiapkan suatu sistem untuk menjadikan komik Indonesia sebagai satu item budaya yang dibanggakan oleh semua orang. Dan hal ini tidak bisa dilakukan seorang diri, namum harus bekerjasama, bersinergi dengan para pelaku bisnis komik lainnya. Sebagai tugas perorangan, tentu membuat komik yang keren dan dahsyat menjadi suatu kewajiban. Tapi jangan lupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh sesama komikus, yaitu bekerjasama menciptakan satu iklim marketing dimana nanti karya-karya dahsyat yang diciptakan oleh perorangan dapat ditampung dan disalurkan melalui sistem ini. Dan sekali lagi, hal ini harus ditempuh jika sesama komikus mau duduk bersama dan bekerja men-setting sebuah alur menuju kenyamanan berkarya dan berbisnis komik yang durable (tahan lama) serta sustainable (berkelanjutan).

 

Dengan munculnya banyak event serta perlombaan komik Indonesia dewasa ini sangat-sangat memacu semangat kita untuk berkarya lebih. Namun, semua itu pun harus dikembalikan kepada attitude setiap komikusnya. Jangan sampai hanya semangat berkarya semata-mata jika hanya ada imbalan hadiahnya saja, tapi harus dibentuk sebuah mindset berpikir yang lebih patriotis dimana setiap komikus mempunyai niatan tulus untuk menciptakan karya komik yang dahsyat dan bekerjasama dengan sesama komikus untuk bergotong-royong memajukan komik Indonesia. Niatan ini harus dilatih sejak awal, sehingga tidak ada lagi kredo untuk saling menjatuhkan atau saling mencela gaya gambar antar komikus. Seperti halnya sapu lidi, kita tidak akan bisa menyapu halaman dengan efektif dan maksimal jika hanya berjuang seorang diri. Kita harus berada dalam satu ikatan bersama, menyatukan visi yang sama, lalu menjalankan misi yang sama menuju hasil yang kita damba-dambakan selama ini. Inilah kewajiban kita sebagai komikus Indonesia.

Lantas bagaimana dengan hak kita?

Percayalah, hak itu selalu lahir dengan sendirinya selama kewajiban kita sudah terpenuhi. Jika industri perkomikan kita sudah stabil setelah kewajiban-kewajiban itu kita penuhi, maka income yang besar atau popularitas tinggi dari karya kita akan terbentuk dengan sendirinya.

So, sudah saatnya berhenti mengeluh. Mari kita alihkan aliran energi kita untuk semangat berkarya pantang menyerah menciptakan satu kondisi paling nyaman untuk berkarya komik dan memajukan komik Indonesia secara berjama’ah.

 

XGRA AXY!!

 

Ada yang tahu “Genkidama”?

Bagi yang pernah baca komik serial Dragon Ball pasti ngerti betul apa itu Genkidama. Yap! Itu nama istilah untuk salah satu jurus pemungkas milik Son Go Ku: Bola Semangat (元気玉, Esfera de espíritu). Untuk menghasilkan bola semangat, Son Go Ku selalu membutuhkan uluran tangan banyak orang. Semakin banyak orang yang mengulurkan tangannya ke langit dan menyumbangkan energinya, maka semakin besar bola semangat yang tercipta.
Di balik kedahsyatan kekuatan Bola Semangat yang diceritakan di dalam komik, sebetulnya tersimpan sebuah konsep tentang membangkitkan “semangat” di dalam diri setiap orang. Mencoba mencuplik saduran konsepnya, akan saya coba pakai untuk membahas teknis dan sistem untuk mejaga semangat kita agar tetap menyala dalam berkarya sepanjang masa.

Saat ini, banyak bermunculan seminar-seminar dan pembahasan mengenai “Motivasi Diri”. Hal ini muncul sebagai reaksi terhadap meningkatnya kegalauan di kalangan orang-orang, khususnya pada remaja usia produktif. Banyak keluhan yang keluar dari kalangan pengkarya yang berangkat dari ketidakmampuan mereka dalam memanasi semangat di dalam diri untuk terus bergerak menciptakan sesuatu. Ujung-ujungnya, jika orang tersebut tidak memiliki pengetahuan dan kesiapan mental yang cukup, maka yang berikutnya lahir adalah ‘stress’.

Kalimat-kalimat motivasi sakti yang keluar dari tulisan motivator ulung sedikit banyak memberikan perubahan positif bagi insan-insan galau ini. Yang terjadi kemudian, si pendengar/pembaca galau tersebut terkompori lalu bergerak melakukan sesuatu dan memperbaiki ritme hidupnya. Tapi yang kemudian terjadi tidak semulus yang kita saksikan di tahap awal. Ketika usai mendengarkan kalimat/nasehat yang  memotivasi, biasanya orang-orang langsung semangat dan bergerak. Akan tetapi, di beberapa fase berikutnya, semangat mereka melempem dan kembali ke jalur semula: galau dan malas.

Catatan penting, kalimat motivasi hanya sanggup mengantarkan kita sampai ke pintu gerbang memulai pergerakan saja, tapi belum tentu sanggup menjaga semangat kita sampai masa-masa ke depan.

Jadi, apa yang sebetulnya dibutuhkan oleh orang-orang ini bukan hanya kalimat motivasi saja, tetapi juga teknis untuk menjaga semangat agar tetap menyala terus menerus. Inilah yang dinamakan dengan aspek ‘sustainable’ atau berkelanjutan. Nah, bagaimanakah caranya?

Saya seorang komikus, dan saya mengerti sekali keluhan-keluhan yang menguar dari teman-teman yang sedang berkarya komik. Sebagian mengeluhkan betapa sulitnya memulai satu halaman. Di belahan dunia lain banyak juga yang mengeluhkan bagaimana konsisten menyelesaikan halaman per hari. Dan masih banyak lagi. Ketika satu kalimat motivasi diberikan kepada kita, semangat biasanya membumbung tinggi dan kemudian kita jadi panas untuk melanjutkan berkarya lagi. Tapi di tengah jalan, lagi-lagi kita melempem, seakan-akan semangat itu mengudara seperti kamper yang hilang wanginya seiring hilang wujudnya. Jadi, yang perlu kita peta-kan dari awal adalah: Manajemen Habits.

Seringkali kita ‘grusa-grusu’ alias terburu-buru bertindak tanpa menyusun manajemen pelaksanaan terlebih dahulu. Atau sebaliknya, kita kelamaan me-manage, tapi kemudian lisoy karena kelamaan sehinga jadi malas berkarya. Apa itu Manajemen Habits?
Sederhananya adalah teknis menyususn jadwal pribadi dalam memetakan prioritas dalam pelaksanaan pekerjaan/ pengkaryaan. Ingat, ketika kita mendapat suntikan semangat, berarti kita harus jeli dalam memprioritaskan mana yang harus dikerjakan duluan, dan mana yang harus kita tunda. Seringkali, sebelum masuk tahap aksi, jarang teman-teman yang melakukan sesi Intermission terlebih dahulu. Akibatnya, ketika kita maju perang, banyak terjadi kekacauan gerak yang mengakibatkan kekalahan kita secara telak. Sabar dulu. Kita harus sadar, ketika kita sedang semangat-semangatnya berkarya, energi kita sedang membludak. Bola semangat kita sedang menyala seterang-terangnya. Nah, yang perlu kita waspadai adalah jangan sampai pijar semangat ini meredup. Cara terbaik untuk menjaganya adalah memanage habits kita sehari-hari melalui skala prioritas.

Lantas bagaimana cara menyusunnya?
Saya punya tips sederhana.

Pertama, siapkan white board. Lalu kita tuliskan semua list apa yang harus kita kerjakan, dari mulai sesuatu yang paling penting sampai sesuatu yang kesannya remeh. Misalnya, menyelesaikan tiga halaman komik sehari, itu penting. Sampai ke ngetroll dinding facebook, ini yang agak-agak remeh. Tuliskan semua di papan. Mengapa whiteboard? Karena kita harus melihat jadwal ini sesering mungkin. Tempatkan whiteboard ini di sudut yang paling sering diakses oleh mata kita.

Kedua, mulailah menyusun jadwal kerjaan tadi dari penyaringan skala prioritas kepentingan dan kemanfaatannya. Misalnya, membuat komik/ilustrasi itu PENTING! Karena kita secara tidak langsung sedang melakukan tiga hal: berlatih, bekerja (menghasilkan uang), dan berkarya (menyusun portofolio). Berarti hal itulah yang kita prioritaskan paling utama. Investasikan dan ‘sodaqoh-kan’ waktu kita sebanyak-banyaknya pada sesi ini. Baru kemudian kita susun list kerjaan berikutnya yang tidak terlampau penting. Dan INGAT, hal yang disusun paling bawah (yang paling tidak penting) adalah hal yang tidak memberikan manfaat banyak. Main 9gag, fesbukan, twitteran mungkin justru akan membawa pengaruh kesia-siaan di jadwal kita. Jadi kita harus prioritaskan kegiatan ini di sesi paling bontot.

Ketiga, hal yang paling penting harus dilakukan paling sering dan paling banyak alokasi waktunya. Misalnya, bikin karya komik minimal 7 jam sehari. Sisanya untuk hal-hal remeh seperti nyantai di kasur, baca komik, fesbukan, dll cukup setengah sampai satu jam saja. Ini yang namanya skala prioritas. Jika sistem penyusunan ini benar, maka tidak ada lagi keluhan “Saya tidak punya waktu untuk berkarya”.

Keempat, cobalah untuk fokus pada satu kegiatan. Jangan sampai main sambi-sambilan. Bikin komik ya bikin komik, jangan disambi fesbukan, apalagi disambi push-up. Sudah, prioritaskan di satu kegiatan. Semakin kita tidak fokus, semakin luas kita membuka jendela distraction (pengalihan) dan semakin pupus semangat kita. Fokus saja.

Kelima, tuliskan jadwal prioritas tersebut di whiteboard yang mudah diakses oleh mata kita, sehingga kita bisa lebih patuh terhadap jadwal. Jika tidak punya whiteboard, bisa diganti dengan kertas yang berisi susunan jadwal keseharian kita tersebut, dan kita copy sebanyak-banyaknya lalu tempelkan di setiap sudut yang bisa mengingatkan kewajiban kita. Efeknya, kita jadi cenderung lebih patuh terhadap jadwal.

Keenam, bersikaplah keras kepada diri sendiri. Saya mempunyai seorang teman cewek yang bekerja di pabrik di Bekasi. DIa selalu rajin berangkat jam 5 subuh dan pulang jam 9 malam, setiap hari, bahkan jika minggu dipakai lembur pun ia mematuhinya. Masa iya kita yang mempunyai waktu lebih luas malah kalah dengan jadwal teman saya ini? Malu donk.

Ketujuh, berbagilah semangat kepada sesama. Semakin sering kita berbagi energi, semakin besar energi yang kembali kepada kita. Jangan pelit! Ingat Genkidama. Semakin banyak orang yang memberikan semangat kepada kita, maka semakin besar pula semangat kita.

Jika ketujuh hal di atas bisa kita jalankan setiap hari sampai break 3 bulan, makan habits kita akan ter-manage dengan baik, dan efeknya, kita cenderung bisa lebih semangat dalam berkarya…..setiap JAM!
So, pantang menunda. XGRA AXY!!

Setelah saya tekun berkarya berbasis pada passion, saya lambat laun dipertemukan oleh Tuhan dengan orang-orang yang berlari di track yang sama dengan saya. Sebut saja pertemuan-pertemuan ini adalah buah kebersenyawaan energi yang kami miliki, dan serangkaian kejadian kemudian mendekatkan kami satu sama lain. Setelah bertemu dengan mereka, orang-orang yang berkarya pada passionnya, saya selalu bertambah semangat dalam berkarya. Banyak cerita dan kisah hidup yang saya dengar dan kemudian menginspirasi saya. Orang-orang ini banyak yang menyatukan pekerjaan dan hobi-nya menjadi satu. Sebagian yang lain tetap menjalankan pekerjaan umumnya sambil terus menerus mengkaryakan passionnya. Bagi saya, keduanya sama-sama keren.

Sebuah obrolan dengan salah seorang sahabat mengantarkan topik pengulasan masalah kami pada sebuah kalimat tanya: “Bagaimana bisa?”

Bagaimana bisa orang-orang ini bertahan mengejar passionnya?
Bagaimana bisa mereka mengerjakan begitu banyak hal tanpa merasa sedikitpun terbebani?
Bagaimana bisa mereka me-manage jadwal hidup mereka yang padat tanpa kehilangan ‘family time’ mereka?

Ketika terlahir ke dunia, manusia datang tanpa membawa bekal apapun. Tapi, semua manusia diberikan modal yang sama. Modal itu adalah WAKTU. Seberuntung-beruntung manusia adalah mereka yang bisa memanfaatkan waktunya untuk berbuat kebaikan. Secelaka-celakanya manusia adalah mereka yang menyia-nyiakan waktunya untuk berbuat keburukan. Saya bukan theologis yang religius, bukan juga makhluk yang beriman dengan baik, tapi saya percaya bahwa semua agama mengajarkan hal yang sama: Berlomba dalam kebaikan.

Ada apa dengan “waktu”?

Bill Gates, Barrack Obama, Cak Gito Tukang Soto, dan Inul Daratista sama-sama mempunyai waktu 24 jam dalam 1 hari. Dan kuantitas di dalam waktu ini tidak bisa ditawar dan tidak bisa dilebihkan. Coba saja kita jualan jam tangan yang waktunya 28 jam, selama jualannya masih di planet Bumi, pasti jam itu tidak akan laku. Orang-orang yang saya sebutkan di atas mempunyai porsi waktu yang sama di dalam hidupnya, tapi mengapa nasib mereka berbeda-beda? Ada yang sukses sebagai enterpreneur, ada yang suksesnya jadi presiden, ada yang jadi tukang soto, dan satunya lagi jadi penyanyi dangdut merangkap wirausahawati. Mereka semua sukses. Lantas bagaimana dengan nasib para pengangguran dan pengemis gemuk yang suka bawa anak kecil pinjaman di pinggir jalan? Apakah waktu di dalam hidup mereka berbeda? SAMA! Pengemis dan pengangguran juga hidup 24 jam sehari. Tapi mengapa nasib mereka begitu berbeda. Back to the original statement: Seberuntung-beruntung manusia adalah mereka yang bisa memanfaatkan waktunya dengan baik untuk berbuat kebaikan.

Setidaknya, jika ditinjau dari kualitas hidup seseorang dalam memanfaatkan waktu, ada 4 kelas manusia:

#01 Manusia Kelas Pertama
Mereka adalah orang-orang yang membasiskan pemanfaatan waktu pada konsep “other-centered”. Golongan ini diisi oleh para pengkarya di dalam hidup yang memanfaatkan waktunya untuk meraup ilmu sebanyak-banyaknya, mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, dan menciptakan karya sebanyak-banyaknya kemudian setelah itu mereka mencoba MEN-DISTRIBUSI-KAN hasilnya kepada sesama. Segala bentuk pencapaian yang ia terima tidak berhenti pada satu titik pusat ke-aku-an, melainkan berlanjut pada fase “kontribusi” untuk sesamanya. Bahkan untuk seluruh alam semesta. Alam semesta? YA!
Saya berkenalan dengan seorang berkebangsaan British-American bernama Bjorn Vaugn. Mas Bjorn ini mengejar passionnya sebagai fotografer alam. Ia berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk mengkaryakan passionnya. Sampai pada suatu ketika, karena kecintaannya terhadap alam, ia berhenti di sebuah pulau yang dikenal sebagai paru-paru dunia: Borneo. Ia kemudian mendirikan sebuah perusahaan dokumentasi film bersama para aktivis pecinta lingkungan yang lain dan berbasis di Kalimantan. Keputusannya mendirikan perusahaan itu setelah ia galau melihat begitu dahsyatnya pembalakan liar di pedalaman hutan Borneo oleh pihak-pihak yang rusak akhlaqnya. Kekhawatiran sesungguhnya adalah ketika ia menyaksikan nasib para orangutan yang semakin menipis populasinya karena dihancurkan oleh tangan-tangan villain. Dengan bekal ‘sesuatu’ yang ia bentuk bersama teman-temannya, ia bertekad menyelamatkan nasib orangutan dan ‘rumah tinggal’ mereka. Saya bilang itu kebetulan yang lucu. Bjorn were Born to save Borneo. Tidak hanya memberikan sumbangsih untuk dirinya saja, tapi ia memanfaatkan waktunya untuk menciptakan perubahan bagi sesama, bahkan bagi alam semesta. #IfYouKnowWhatiMean

Selain Bjorn, saya juga bertemu beberapa orang yang sibuk ‘mendistribusi’kan apa yang telah ia perjuangkan. Hartanya, ilmunya, pengalamannya, semuanya. Dan mereka melakukan ini semata-mata karena “suka”. Tidak ada suruhan orang, bukan paksaan, tidak juga untuk memperoleh tepukan. Mereka adalah golongan manusia Kelas Pertama yang cerdas mengkondisikan jadwal hidupnya untuk menambah value diri serta untuk berbagi. Faktanya: berbagi itu bukan perkara “Mampu” atau “Tidak Mampu”, tapi soal “Mau” atau”Tidak Mau”. Banyak orang yang berkelit tak memiliki apa-apa sehingga ia ‘malas’ berbagi. Akan tetapi mereka tidak punya usaha untuk mencari sesuatu yang bisa untuk dibagi. Berbeda dengan manusia Kelas Pertama ini yang bisa bersikap keras kepada dirinya sendiri untuk menjadi lebih ‘kaya’ sehingga ia bisa berkontribusi kepada sesama. Orang-orang ini sangat menginspirasi saya.
—————-

#02 Manusia Kelas Kedua
Pada kelas ini, orang-orang telah memanfaatkan waktunya dengan baik untuk berkarya pada track passionnya dengan bijaksana dan berbasis pada konsep “Me centered”. Achievement yang mereka bangun berbasis pada kepuasan dirinya sendiri saja, tapi belum sampai tahap kontribusi kepada sesama seperti yang dilakukan oleh manusia Kelas Pertama. Pada level ini, biasanya orang-orang akan menyanjung hasil kerja dan karyanya sebagai manifestasi pribadi akan kepuasan menciptakan dan kelayakan mendapatkan apresiasi dari lingkungan. Tidak ada yang salah dalam hal ini. Akan tetapi, sebuah penilaian terlahir dari manfaat yang tercipta. Semakin besar manfaat yang diterima oleh sesama, semakin besar penilaian yang terlahir, tergantung kepada keikhlasan di fase pertama saat berkarya. Pada kelas ini, fokus utama pencapaian masih berbasis kepada ke-Aku-an. Kesuksesan pribadi. Jika bertahan dengan baik, segera sesudahnya mereka akan naik kelas ke level yang lebih unggul untuk berkontribusi, memanfaatkan waktunya tidak hanya untuk menciptakan karya guna memuaskan diri, tapi juga memuaskan sesama.
—————-

Saya tidak akan bicara panjang lebar soal #04 Manusia Kelas Keempat, karena pasti kita sudah sama-sama tahu bahwa level ini sudah pasti diisi oleh  kelompok orang yang mengisi waktunya untuk berbuat keburukan. Mabuk, judi, main cewek/cowok/bencong, dan lain-lain, silakan sebut sendiri perbuatan-perbuatan tercela seperti yang pernah kita database-kan kala pelajaran PPKn dan tata krama semasa SD dulu. Tapi, sejelek-jelek bentuk kegiatan tersebut, setidaknya mereka tetap berusaha memanfaatkannya. Hanya saja memanfaatkannya untuk kebrukan. Pada level ini, tentu saja kita akan sangat rugi.
—————-

#03  Manusia Kelas Ketiga
Jika Kelas Pertama berbasis pada konsep “Other-centered”, dan Kelas Kedua pada konsep “Me-Centered”, maka Kelas Ketiga ini berbasis pada “Nothing-centered”.
Kesia-siaan.
Dulu pernah muncul sebuah perdebatan panjang antara ada atau tidaknya “bakat” seseorang di dunia ini. Sebagian percaya bahwa bakat itu tidak ada, yang ada adalah usaha yang keras mencapai keberhasilan. Di sisi lain, seseorang yakin bahwa setiap manusia lahir dengan sebuah bakat sebagai bentuk anugerah ‘modal’ pemberian Tuhan. Perbedaan pendapat ini tidak terlalu penting, yang utama adalah hikmah di baliknya, mari kita hormati. Saya termasuk orang yang percaya bahwa bakat itu ada. Sebagai bentuk anugerah, setiap manusia dibekali bakat dan potensi yang berbeda-beda. Seburuk-buruk orang adalah yang menyia-nyiakan potensi di dalam dirinya karena ia tidak tekun mengasahnya dari waktu ke waktu.
Manusia Kelas Ketiga adalah makhluk yang malang. Ia di anugerahi dua hal: Bakat dan Waktu, tapi keduanya dihambur-hamburkan untuk sesuatu yang tidak bermanfaat. Jangankan mendatangkan manfaat untuk orang lain, untuk dirinya pun tidak.

Saya pernah diberi perumpamaan oleh seseorang yang sepuh dan bijaksana, seperti ini:
Sebutlah di suatu hari, muncullah seorang yang kaya raya memberikan modal kepada dua orang miskin dengan jumlah nominal uang dan peralatan yang sama. Usai memberikan modal itu, si kaya meninggalkan mereka untuk berkarya. Si miskin yang pertama langsung instan memakai uangnya untuk memenuhi kebutuhan lahiriyah dirinya dan nafsunya. Pada saat yang sama, si miskin kedua memanfaatkan sebagian nominal uangnya untuk investasi dan membeli modal usaha. Selang waktu berganti, si miskin pertama masih senantiasa menyianyiakan modal tersebut sementara si miskin kedua sudah meraih sedikit keuntungan dari modal awalnya. Pada akhir cerita, si kaya kembali datang menjenguk nasib dua orang yang pernah ia delegasikan kepercayaan dan finansialnya. Hati si kaya dibuat bangga melihat nasib si miskin kedua yang sudah sukses dan menceritakan perputaran keuntungannya serta kontribusinya kepada sesama berbekal pada modal awal yang pernah ia terima dahulu. Tapi kemudian hati si kaya ngenes kecewa melihat nasib si miskin pertama yang tidak berkembang, bahkan menjadi semakin miskin kehabisan modal awalnya. Ia telah menyia-nyiakannya untuk sesuatu yang tidak bermanfaat. Singkat cerita, si miskin pertama ditinggalkan si kaya dengan bekas kekecewaan mendalam. Sementara itu, si miskin kedua terus menerus mendapatkan support dari si kaya secara berkesinambungan.

Cerita di atas merupakan sebuah analogi sederhana tentang dua orang yang diberikan modal yang sama dari Tuhan dan bagaimana cara memanfaatkannya. Modal utama kita adalah ‘waktu’. Modal kedua, yang saya imani selama ini adalah potensi atau bakat. Si miskin kedua adalah pengejawantahan kesuksesan seseorang yang berhasil memanfaatkan modalnya dengan baik sehingga bisa memberikan manfaat bagi dirinya dan sesamanya. Tipe golongan ini tentunya membuat Sang Maha Pemberi Modal senang dan bangga. Manifestasi kesenangan-Nya diwujudkan kepada makhluk ciptaan-Nya ini dengan kehidupan yang bahagia dan dicintai sesama. Sementara itu, si miskin pertama adalah perwakilan dari nasib orang-orang yang menghambur-hamburkan waktunya untuk mengerjakan hal sia-sia. Kesia-siaan itu kemudian menumpas potensi dan bakatnya, sehingga dirinya hanya bisa terus-terusan bergantung pada uluran nasib orang lain. Saya beriman, Tuhan pasti tidak suka dengan orang-orang seperti ini. Dan saya juga beriman, bahwa orang-orang yang suka menyia-nyiakan waktunya ini tidak akan “diurus” lagi karena sudah membuat Dia kecewa karena tindakannya itu. Buktinya, sudah terlalu banyak contoh di sekitar kita, orang-orang yang menyia-nyiakan waktunya hidup dalam ‘kemelaratan’ dan ‘kesengsaraan’ batiniyah, bahkan lahiriyah. Karena kelakuan mereka yang menyia-nyiakan fase-fase hidup mereka sendiri itulah yang menjadikannya demikian.

Seorang bijak di dalam hidup memberi petuah sederhana: “Berkarya di masa muda, berjaya di hari tua”. Kalimat ini menjadi trigger bagi saya untuk terus memanfaatkan fase hidup yang sedang saya jalani supaya nanti tidak kehilangan kejayaan oleh penyesalan. Bagaimana mungkin kita mau menyia-nyiakan waktu untuk bermalas-malasan atau melakukan hal yang kurang bermanfaat sementara di sekeliling kita, teman-teman kita banting tulang menciptakan perubaan dengan pengembangan potensi masing-masing. Malu rasanya. Mereka, kaum muda yang kata bang haji Rhoma Irama sedang berapi-api berhasil menyulap energinya untuk memaksimalkan potensi dan waktu mereka pada track cantik yang sangat bermanfaat. Setiap fase di jalani oleh orang-orang Kelas Pertama ini dengan penuh manfaat, tidak ada yang ter-sia-sia-kan. Pada saat yang sama, orang-orang Kelas Ketiga terus-terusan bermalas-malasan mengeluhkan takdir Tuhan yang hanya menciptakan waktu 24 jam dalam sehari.
Mereka selalu beralasan “tak punya waktu” untuk berkarya.
Mereka selalu berkelit “tak ada waktu” untuk belajar.
Tapi pada saat yang sama mereka duduk berjam-jam bermain 9gag. Pada saat yang sama mereka melebihkan waktu berbaring di kasur untuk melamun sampai tak kenal waktu. Pada saat yang sama pula mereka asyik bergosip di jejarig sosial tanpa ada niat mengupgrade pengetahuan dan sumber inspirasi. Pada saat yang sama, mereka lebih banyak berbuat yang sia-sia daripada yang mendatangkan manfaat.
Ini adalah bentuk kemunafikan tingkat dasar, dan celakanya sebagian orang pada level ini menghalalkannya secara halus dalam bentuk “Alasan”.

 

Manusia Kelas Ketiga tentu belum akan mengerti nikmatnya berkarya. Mungkin boleh jadi mereka belum mengerti indahnya berkontribusi. Kejadian ini tentu mengisyaratkan satu hal tentang bagaimana kualitas mereka dalam memanfaatkan modal mereka, Waktu dan Potensi.
Lalu bagaimana untuk naik level dari kelas ‘absurd’ ini?

Pertama: Petakan dulu ‘masalah’ dan ‘potensi’nya.
Setiap kejadian sia-sia pastilah sebuah masalah. Cobalah untuk di manajemen dengan baik dengan mempartisi kegiatan berdasar manfaatnya bagi kita dan sesama. Setiap kegiatan yang berpotensi membawa manfaat segera kita prioritaskan untuk dikerjakan ‘lebih dulu’ dan ‘lebih sering’ ketimbang yang kurang bermanfaat. Kemudian, cobalah untuk mematuhi manajemen jadwal ini dengan baik selama 21 hari untuk membentuk sebuah kebiasaan. Selanjutnya, pecahkan rekor kepatuhan ini hingga 40 hari tanpa putus untuk membentuk sebuah kebutuhan. Jika kita konsisten, kita bisa naik level menuju kelas yang lebih baik.

Kedua: Berusahalah untuk ‘senang’ melihat kesuksesan seseorang.
Ada golongan orang yang kebiasaan di hatinya selalu “panik melihat kesuksesan orang”. Mode defensif ini kemudian melahirkan digma di otaknya untuk melihat seseorang yang sukses sebagai saingan. Ujung-ujungnya, jika track mereka keliru, akan berujung pada kasus iri dan dengki, dan siasat kudeta licik untuk menjatuhkan kesuksesan itu. Sebuah klise penyakit hati bagi kaum rendahan. Lalu bagaimana cara membersihkan penyakit ini? Sederhana. Berusahalah untuk melihat ‘saingan/orang yang sukses’ ini sebagai anugerah agar kita semakin terpacu untuk berkarya dan memanfaatkan waktu kita lebih mantap lagi. Lihatlah orang-orang sukses ini sebagai sahabat seperjuangan kita. Belajarlah banyak hal dari mereka. Berbagilah passion bersama mereka, dengarkan pengalaman hidupnya, ambil hikmahnya, dan sebagainya. Dengan kita berusaha untuk senang melihat kesuksesan orang, kita akan “malu” menjadi orang yang tidak bermanfaat.

Ketiga: Konsisten dan jangan mudah ‘berpuas diri’.
Di atas langit masih ada langit. Lihatlah ke atas agar kita terpacu terbang lebih tinggi. Jangan sampai kita melihat ke bawah untuk menciptakan alasan dan pembenaran-pembenaran konyol. Sangat picik rasanya jika kita menjadikan kegagalan dan ‘kejatuhan’ nasib seseorang sebagai alasan kita untuk berpuas diri. Jika kita begitu, maka pada saat yang sama kita sedang menciptakan benteng agar kita tak bisa berkembang. Tidak ada hasil memuaskan dari usaha yang instan. Kalaupun ada, pasti umurnya hanya sesaat. Karena itu, tanamkan niat untuk mengubah ‘level’ diri kita dari keisa-siaan menuju kebermanfaatan dengan memupuknya terus-menerus dengan usaha yang konsisten. Jika kita sudah mendapatkan hasil, segera distribusikan. Jangan sampai kita senyam-senyum dengan hasil sendiri lalu berpuas diri menikmati kenangan indah atas cobaan berat yang sudah kita lalui. Forget it. Lanjut ke level berikutnya, lalu tantang diri lebih kuat lagi. Pertahankan semangat ini secara terus menerus. Konsisten.

—–
Make sure No Time Wasted.
Derajat kemuliaan seseorang dapat dinilai dari seberapa besar kemanfaatan dirinya bagi semua.
Akselerasi. XGRA AXY!!

Seminggu sebelum hari kemerdekaan RI, saya merenung di kamar kosan 2 x 3 m yang penuh inspirasi. Dari sana, saya berpikir ingin sekali menemukan semacam Resolusi dari sebuah kata “kemerdekaan” di masa-masa sudah merdeka. Tepatnya 67 tahun setelah proklamasi kemerdekaan menguar di jaringan ether bumi Indonesia.

Apa sih kemerdekaan itu? Setidaknya, saya harus bisa mendapatkan esensi kemerdekaan untuk saya sendiri.

Setelah sekian jam merenung dalam bisu, saya menemukan esensi yang menarik. Kira-kira, resolusi kemeredekaan yang saya pecahkan dari teka-teki kebisuan tadi tertulis seperti ini:

“MERDEKA artinya membebaskan diri dari segala belenggu keburukan.
MERDEKA artinya menjelmakan semangat dalam membangun kesejahteraan.
MERDEKA artinya membuka jalan seluas-luasnya untuk mencari dan menambah ilmu dan kesempatan riset.
MERDEKA-kan diri kita!
Merdeka-kan semangat berbagi kita!
Merdeka-kan diri dari kemalasan dan kesia-siaan!
Merdeka-kan diri dari orang-orang yang selalu menghalangi kita dalam berbuat kebaikan!
Jangan takut untuk merdeka!
Jangan takut pada orang-orang skeptis yang selalu menjajah dan mencoba melemahkan semangat kita setiap kali kita berkarya. Mereka tak lebih dari golongan kaum penjajah yang sesungguhnya, yang menyedihkan nasibnya. Yang hanya bisa mengutuk keadaan tanpa pernah bisa berkontribusi untuk negaranya. Jangan menyerah!
Buktikan dengan semangat kita untuk berkontribusi membangun negara dengan cara yang paling kita bisa.
Saatnya malu menjadi pemuda yang menyia-nyiakan kemerdekaan.
Saatnya malu menjadi pemalas.
Saatnya malu menjadi orang yang tak punya kontribusi berarti bagi negaranya.
Saatnya mengejar ketertinggalan.
Saatnya membangkitkan semangat lebih besar lagi agar bisa berjuang bersama sahabat-sahabat kita yang sudah sukses di garis depan.
Saatnya menjadi orang ‘berguna’.
BERKARYA ATAOE MATI!!”

Image

 

Saya sadar bahwa usia saya masih terhitung muda, dan semangat dalam diri saya masih meledak-ledak. Saya pribadi malu untuk menyia-nyiakan semangat ini dengan menelantarkan waktu saya. Saya merasa beruntung masih memiliki kesadaran ini. Di sekeliling saya, teman-teman seperjuangan masih sibuk dengan urusannya masing-masing, dan sebagian lupa akan tugasnya berbagi inspirasi kepada sesama. Semakin sering saya mendengarkan ceramah dari orang-orang sukses dari video TEDx, atau berbincang dengan orang-orang yang sukses dengan passionnya, atau membaca kisah-kisah inspiratif dan kepahlawanan dari buku-buku, semakin saya terbakar semangatnya untuk melakukan sesuatu untuk mengisi hari-hari saya dengan kegiatan yang bermanfaat. Saya bersyukur bahwa saya tidak sendirian. Di sekitar saya, banyak teman-teman dari kalangan komikus, penulis, gamer, dan sebagainya masih mengantongi aura semangat berkarya yang sama dengan saya. Alhamdulillah.

Sayangnya, kami tidak mungkin berjalan mulus mewujudkan semangat berbagi ini untuk menginspirasi sesama. Di depan kami selalu muncul orang-orang skeptis yang mencoba memadamkan semangat kami dalam berkarya. Mereka memfatwakan kegagalannya di masa silam dan terus-terusan menghina gerakan kami. Usaha mereka lumayan memprihatinkan karena faktanya kami samasekali tidak terpengaruh. Kami mulai curiga bahwa mereka sebetulnya hanya iri dengan apa yang kami kerjakan. Di luar itu, kami berpikir bahwa mereka tidak memiliki tingkat pengetahuan dan kemuliaan kecerdasan yang tinggi, akibatnya mereka hanya bisa terus-terusan mengutuk gerakan kami. Tapi sudahlah. Kami toh tetap ‘legowo’. Mereka, orang-orang skeptis yang tidak yakin bangsa Indonesia bisa maju ini selalu memiliki ciri khas yang sama:

1. Mereka tidak punya karya dan kontribusi yang berarti bagi sesama

2. Mereka tidak punya kawan yang memiliki semangat membara

3. Mereka (sejauh yang bisa kami terka dari gaya bahasa dan pembahasannya) tidak memiliki kecerdasan yang tinggi.

Lalu kami mencoba mendinginkan hati dan kepala dengan menghibur diri, ‘mereka bukan halangan bagi kami’.  Seperti peribahasa, “Anjing menggonggong, kafilah pun berlalu”. They will stop barking on us when we grab our final achievement at the finish line. Toh pada akhirnya nanti, mereka juga akan menikmati usaha kami dalam membangun negri. Mungkin usaha kami kecil dan tak bermakna. Dari sekedar berbagi ilmu dan semangat di dinding facebook, atau berbagi nutrisi berkarya di facebook, sampai mengkaryakan komik bermuatan lokal untuk membuktikan bahwa Komik Indonesia juga bisa bersaing secara mutu dan konten. Kami; saya dan teman-teman komikus lain; percaya bahwa apapun yang sedang kami tempuh adalah sesuatu yang mulia, tidak ada upaya mencela, dan tulus serta ikhlas untuk berkarya. Kami suka melakukan semua ini. Tidak ada paksaan. Tidak butuh imbalan. Murni karena suka dan cinta.

Merdeka…

Inilah kemerdekaan bagi kami, para komikus yang berkarya di bidangnya untuk memajukan Indonesia. Kami jujur ‘bekerja’ membela passion dan harga diri bangsa kami.

“Saatnya untuk mengabdi. Berkorban untuk bangsaku. Menebus keterlambatan. Saat aku lahir, perang telah usai…” -Ketika Aku Mulai (Ebiet G. Ade).

 

Sekelumit yang bisa saya bagi adalah semangat. Dan semangat ini coba saya tularkan dengan komik sederhana.
 Silakan baca komik bertema semangat kemerdekaan berjudul 67: BERKARYA “ATAOE” MATI di:

Komikoo—> http://www.komikoo.com/komik/67

Ngomik—> http://www.ngomik.com/chapter/12664/67-berkarya-atau-mati

XGRA AXY!!!

Image

 

"Biar rinduku ini tersembunyi dari keramaian imaji cintaku...." Sekarang saya bisa melihat pola algoritma yang menjelaskan mengapa saya bisa bertemu anda. Ketika senyuman saya mencoba membujuk rayu sisi gelap sulaman masa silam anda dengan keterpukauan, saya melihat banyak hal yang sama. Bukan yang nampak dimata, tapi nampak di dada. Bukan yang orang lihat pada selasar nanometer partikel nyawa anda, tapi jauh lebih dalam. Ada partikel yang lebih renik lagi disana, yang akhirnya susah payah memberitahu bahwa sebetulnya saya dan anda sama. Kita itu sama. Awam akan bilang kita begitu berbeda. Beda sekali. Tapi dari level quantum string, yang katanya hanya sesekali waktu saja bisa terpaut, partikel saya dan partikel anda bersenyawa dalam gelombang bajingan yang halus. Lalu saya bisa menjelaskan satu hal: 'Kesukaan kita mungkin berbeda. Tapi ketidaksukaan kita sama.' Saya akan tunggu disini. Di pertautan Quantum String.

Kasus#01

Seseorang bertanya, “Teman kamu sudah sukses jadi pengusaha, kok kamu belum?”
Lalu ia menjawab, “Ya wajar donk. Dia kan anaknya orang kaya, disekolahkan di luar negri, dapet modal dari orang tuanya pula. Sedangkan saya orang miskin, sekolah di sekitar sini, dan gak punya modal…”

 

Kasus#02

Seorang bertanya, “Sudah dua hari kok progress kerjaan kamu masih segini saja?”
Lalu ia menjawab, “Ya maklum, bro. Gw kan sibuk ini itu, apalagi kemaren ada banyak acara ondangan kawinan, udah gitu sekarang lagi musim ujan dan BBM harganya naik…”

 

Coba kita pelajari dua jawaban di atas.

Sadarkah kita bahwa selama ini kesuksesan kita terhambat gara-gara kita terlalu banyak membuat alasan?

Seringkali, ketika seseorang ditanya tentang sebab ‘kegagalan’ usahanya, mereka kebanyakan akan mencari alasan-alasan dan pembenaran-pembenaran untuk menyelamatkan ‘martabatnya’. Seandainya mau mengkaji lebih lanjut, sebetulnya tidak akan ada hambatan yang berarti jika kita bekerja keras dan berpikir cerdas dalam menanganinya sebagai solusi. Lantas, mengapa begitu banyak orang-orang yang tertahan pada fase hidupnya yang cenderung suram, akan tetapi sulit baginya untuk keluar dan ‘menang’? Berdasarkan sebuah ceramah singkat Ade Rai, atlet binaraga Indonesia di event TEDx Jakarta 2010, setidaknya kausalitas kegagalan seseorang dilatarbelakangi oleh dua permainan;

 

01/ Blaming Game (Permainan ‘Menyalahkan’)

Mengutip ikhtisar dari Ade Rai, ketika seseorang ditanya, “Kenapa bapak bisa gemuk?”

Lantas si bapak menjawab, “Ya karena di depan rumah saya ada warung soto, warung sate kambing, sama warung nasi goreng special…”

Jawabannya nggak nyambung sekali.

Dari sampel dialog di atas terlihat bahwa si Bapak itu menjadi gemuk karena banyak warung makanan enak di depan rumahnya, sehingga ia menjadi banyak makan dan akhirnya menjadi gemuk.

Terlalu banyak orang yang ketika ditanya alasan atas kegagalannya, ia menjawab dengan “menyalahkan” keadaan. Ia beranggapan bahwa selama ini usahanya kandas karena keadaan tidak ‘merestui’nya, lantas ia menyalahkan keadaan, bahkan menyalahkan orang lain. Tidak pernah jatuh usaha seseorang oleh buruknya situasi, tapi semata-mata karena dirinya kurang tangguh dalam mempersenjatai usahanya dengan cerdas menuju kesuksesan. Ketika kita banyak menyalahkan, kita telah membohongi diri, menutupi kelemahan yang takut kelihatan oleh orang lain. Logikanya, apa yang mau diperbaiki dalam hidupnya jika ia terus-terusan menutupi kelemahannya?

Orang yang suka menyalahkan keadaan selamanya akan terjebak pada sebuah stagnant circumtance.

 

02/ Justifiy Game (Permainan “Pembenaran”)

Pribadi-pribadi yang lemah kerap kali mengandalkan amunisi excuse konyol untuk menjaga reputasinya. Ia berusaha keras ‘membenarkan’ situasi yang menjadi alasan terbaik atas kegagalannya, sementara ia sendiri tahu bahwa situasi itu tidak seburuk yang ia kira. Sudah terlalu banyak orang-orang berdalih mengeluarkan alasan-alasan pembenaran atas kegagalannya. Ia mencoba menanamkan pengertian kepada khalayak bahwa ia gagal karena memang keadaan hidupnya yang menuntutnya menjadi gagal.

Jika mau ditelaah lebih lanjut, kita pasti sadar bahwa seburuk-buruknya keadaan hidup tidak serta merta mempengaruhi kualitas kegagalan kita. Semuanya tergantung pada usaha yang kita kerjakan. Banyak pengusaha-pengusaha sukses yang berangkat dari titik paling buruk di dalam hidupnya, dan mereka selalu berujung pada keberhasilan yang bersahaja karena telah melalui fase-fase terpahit dalam usahanya, dan tentu saja tanpa mengeluarkan banyak ‘pembenaran’ atas kegagalannya. Pada saat yang sama, pecundang sejati akan selalu berkelit membenarkan keterpurukan keadaan di sekelilingnya sebagai bekal nanti untuk berpidato disaat ia jatuh dalam kegagalan. Karakter orang seperti ini tidak akan pernah bisa menularkan inspirasi positif bagi sesamanya.

 

Berhenti mengeluh. Berhenti menyalahkan keadaan. Berhenti terlalu banyak beralasan. Mulailah bergerak. Saya teringat kata-kata sahabat saya bahwa semua amunisi di dalam diri kita sudah sangat lengkap untuk bekal kita menghadapi kegagalan, tapi ada satu kunci untuk membuka semua itu. Kunci itu adalah “mental” dan “sikap”. Orang-orang yang bersembunyi dibalik pembenaran dan dalih alasan belum mengerti betapa buruknya mental yang ia fatwakan di dalam hatinya. Mereka terlalu sibuk bersembunyi di balik selimut alasan-alasan untuk mengamankan posisinya yang sebetulnya belum tentu aman.

 

Saatnya jujur menilai diri, saatnya sadar memperbaiki diri. Mulailah bangkit dari kegagalan. Mulailah maju dari posisi stagnan. Mulailah bergerak dengan sejuta solusi di hati dan pikiran.

 

“Mengeluh adalah kata-kata lemah, menghancurkan semangat, menumpulkan kreatifitas, dan merusak kebahagiaan orang-orang yang mendengar keluhan itu.”

Maka,

“Jika masalah datang, hadapilah dengan solusi, bukan dengan keluhan.”

 

Think Smart. Work Hard.

XGRA AXY!

 

Image